Sexy Red Lips
Tampilkan postingan dengan label #21keatas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #21keatas. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Oktober 2025

Bab 14: Api Cemburu Dipa

Warning: bahasa di bab ini cukup vulgar dan ada sedikit bagian panas. Jika tidak suka atau merasa risih, bisa di skip.

Ana keluar dari kamarnya dengan wangi parfum yang menyeruak dari tubuhnya, belum lagi kini ia juga sudah catok rambut yang membuat tatanan rambutnya sangat badai.

Ia sudah memakai tas punggung yang berisikan baju ganti, ia juga telah menggantung pakaian baru dari Denish dan memilih untuk tidak menggunakkannya ke tempat kerja.

Semenjak kejadian Dipa yang melakukan hubungan panas di kamarnya, semenjak itu juga Ana selalu mengunci pintu kamarnya dan memberikan spanduk kecil di depan pintu yang bertuliskan 'tidak boleh masuk kecuali si pemilik!!!.

Ana kali ini berdandan, tampak sangat cantik dengan wajahnya yang sempurna. Wajar saja ia memilih laki-laki kaya untuk menjadi pendamping, toh wajahnya sangat mendukung untuk bersanding dengan laki-laki kelas atas.

"Jangan rusak hari ini lagi termasuk gak mau ketemu lagi sama masteng yang suka catcalling itu, ewh jijik banget."

Ana berjalan ke arah dapur untuk mengambil minuman kaleng yang memang selalu ia refill setiap kulkas sudah kosong. Yang mengisi kulkas juga dirinya, bahkan terkadang membeli beberapa kilo daging yang pasti membuat keluarganya bertanya-tanya karena gaji dari menjadi tukang cuci piring restoran tidak sebanding dengan tenaga yang keluar. Dalam artian, biasanya dengan gaji kecil, seseorang lebih mengirit. Tapi tidak berlaku bagi Ana, ia memiliki pekerjaan sampingan.

"Selangkangan gue masih sakit,"

Menutup kembali pintu kulkas, dan ia akhirnya berbalik badan.

"Eh?" Dan ia melihat Gibran yang menatap ke arahnya tanpa kedip. "Heh ngapain lo ngeliatin gue?" sebenarnya Ana tau kalau laki-laki mesum satu itu melihat ke bongkahan bokongnya. 

Ana memang terbiasa menghabiskan minum lebih dulu jika merasa haus, ia tidak pernah membawa botol minum atau bekal ke tempat kerjaan.

Gibran yang tadi menatap Ana lebih menurun dari wajahnya itu pun mengerjapkan mata. "Tidak ada apapun, gue cuma liat ke arah sepatu yang lo pakai, kak." Sama seperti Dipa, ia juga memanggil Ana dengan tambahan 'kak' di depan nama, namun terkadang jika ia tidak lupa.

"Sepatu apa? Gue pakai heels, buta ya lo?"

Glek glek glek

Sebagai penambah suara dari Ana yang meneguk minuman botol itu yang menyegarkan kembali tenggorokkannya.

"Iya, itu maksud gue, sama aja." Gibran menjawab, seperti sedikit salah tingkah karena jawaban Ana.

Ana menaikkan sebelah alisnya. "Terus niat lo ke dapur buat ngapain? Liatin bokong gue?"

Gibran tersentak, mungkin ia merasa tertangkap basah. Sedangkan Ana, ia hanya tersenyum miring. Jangan-jangan, laki-laki satu itu tidak puas hanya

berhubungan badan dengan satu wanita.

Ana mendengus. Ia meremas kaleng minuman yang sudah habis ia teguk, dan kini melemparnya ke tempat sampah. "Jangan terlihat seperti anjing begitu, Gibran. Kalau lo punya niatan tercela sama gue, kubur aja, gue ga minat sama yang kecil-kecil." Ia berkata setelah itu berlalu begitu saja.

Gibran melongo. Ia sebenarnya ingin mengambil minuman, sesuai dengan perintah Dipa. Malah bertemu dengan Ana yang semua orang juga tau kalau tingkat penampilan Ana sangat menarik perhatian karena kata cantik saja tidak cukup untuk mendeskripsikan wanita itu.

"Gila body-nya mantep, lebih mantep dari Dipa."

Kembali lagi ke Ana yang sudah melenggang ke ruang tamu, yang ia ketahui kalau adik beserta pacar adiknya itu sedang berada disini.

"Dipa!" Ana memanggil dengan setengah menjerit.

Apa yang ia lihat sekarang? Dipa yang sedang membenarkan dalaman dan kaos yang sebelumnya di gunakkan sang adik sudah tidak terpakai di tubuhnya.

"M-maaf, kak."

"Aduh cape deh ya gue kalau lo selalu minta maaf tapi gak pernah berubah,"

Ana tau kalau Gibran habis meminta jatah kepada Dipa. Kalau di pikir-pikir menjijikan, tapi ia juga melakukan hal yang sama seperti adiknya, hanya beda di nominal pembayaran saja.

"A-aku gabisa nolak-"

"Lo kecanduan, bodoh. Dulu gue larang lo buat gak tau hal-hal dewasa kecuali edukasi, itu karena bisa menyebabkan kecanduan."

Ana melihat Dipa, selebihnya adiknya itu hanya menundukkan kepalanya saja.

Dipa gemetar karena lagi dan lagi membuat Ana kecewa. Padahal Ana sudah mengingatkan padanya untuk tidak bertindak aneh-aneh, namun tidak ada yang tau bagaimana kinerja hasrat dan nafsu.

"Gue gak tau apa yang bikin lo ketagihan dari barang Gibran yang kecil itu, gak berasa apa-apa. Gue berangkat dulu ya, by the way cowok lo udah mulai mesum sama gue, tolong di tegur atau di gampar sekalian."

Ana pun melangkahkankan kaki keluar dari rumah dan ingin langsung menuju tempat kerja dengan motor pribadi miliknya. Ia meninggalkan Dipa dengan segala pemikirkan mengenai Gibran yang dengan kurang ajarnya malah terdengar seperti tertarik dengan kakaknya.

Dipa mengepalkan tangan, ia belum menggunakkan kaos dan membiarkan tubuh bagian atasnya hanya menggunakkan Bra.

"Maaf lama, tadi aku mencari minuman soda kaleng ternyata habis ada di penataan belakang."

Dipa menoleh ke sumber suara dan menemukan Gibran yang berjalan ke arahnya dengan kedua tangan yang menggenggam minuman kaleng, yang satu minuman soda, dan yang satu lagi kopi latte.

Dipa menelusuri Gibran, menatap laki-laki itu dari atas sampai bawah dengan tangan yang menyilang di depan dadanya.

"Apa? Kau menatap ku seolah-olah aku adalah penjahat," Gibran menyadari tatapan mata Dipa yang sangat tajam. Ia meletakkan kaleng minuman tersebut di atas meja, dan setelah itu duduk di sofa dengan Dipa yang ada di hadapannya.

"Nafsu mu bangkit hanya karena melihat kakak ku?" Dipa langsung menanyakan hal ini.

Gibran mengangkat Dipa, menduduki wanita polos yang hanya mengenal

hubungan panas dengannya ini di pangkuannya. "Kau begitu polos, reaksi alami seorang laki-laki jika melihat tubuh hot kakak mu pasti akan sama dengan ku."

"Siala-mphhhhh."

Mulut Dipa langsung saja di bungkam oleh Gibran. Hal ini menjadikan Dipa tidak bisa meneruskan umpatan kasar untuk kekasihnya ini.

Gibran tau cara meluluhkan seorang wanita, ya dengan ini caranya. Tangannya tidak tinggal diam, meremas dada Dipa dengan lembut dan membukanya yang padahal beberapa saat lalu Dipa baru saja memasangnya. "Dan kau pelampiasan yang paling bermanfaat, sayang. Sekarang tinggal kau dan aku, tidak ada orang lagi di rumah ini selain kita berdua."

"Awsshhh... Gibran..." berkata di sela lumatan.

Dipa di makan api kecemburuan karena secara tidak langsung, Gibran tertarik pada Ana. Ia akan menunjukkan kalau dirinya lebih baik daripada kakaknya itu. Ia tidak mau kalah dan meremas kejantanan Gibran yang sudah membesar dan jika resleting celana laki-laki ini di buka pasti langsung menyembul.

Lumatan mereka semakin panas, bahkan Dipa mulai memaju mundurkan pinggulnya menggesek miliknya dengan milik Gibran yang terasa keras menyentuh selangkangannya.

Pada akhirnya Dipa memutuskan untuk menyidahi lumatan. Ia beranjak dari pangkuan Gibran dan melucuti semua pakaian yang ada di tubuhnya, tak lupa ia membantu Gibran melepaskan kaos polos dan celana laki-laki itu. Kini, keduanya dalam keadaan naked.

"Aku akan membuat mu merasakan kalau tubuh ku lebih bisa membuat mu nikmat daripada kakak ku,"

"Tapi aku belum pernah merasakan tubuh Ana."

"Kalau begitu, jangan pernah. Aku akan memuaskan mu,"

"Bersikap seperti jalang pribadi, aku menyukainya."

Padahal Dipa tidak tau saja kalau Ana menolak Ginran mentah-mentah, yang dimana Gibran melakukan ini hanya sebagai pembangkit nafsu Dipa karena selama ini wanita itu tidak pernah memimpin permainan panas mereka.

Senin, 06 Oktober 2025

Bab 13: Menggoda, Pulang

Tidak seperti harapan Ana, para tetangga kali ini sepi dan tak terlihat satu orang pun-yang sering meng-gosipinya— terlihat. Mungkin ada acara RT atau hal yang tidak ia ketahui.

"Baguslah, terhindar dari ibu-ibu tukang julid."

Dengan senang hati, Ana berjalan menelusuri gang, ia berjalan kaki tentu saja karena mobil tidak bisa memasuki gang ini. Ya sebenarnya bisa saja, namun sulit untuk mutar balik jadi ia lebih memilih di turunkan di depan gang.

Ia berjalan dengan baju baru, baju mahal yang bisa saja ia membeli sendiri dari uang hasil menjadi wanita malam. Namun lebih baik di belikan orang lain karena tidak akan mengurangi uangnya di ATM.

"Piwwit, Neng Ana!"

Mendengar seseorang memanggil namanya sambil bersiul menggoda, Ana mengaduh di dalam hati karena ternyata tidak semulus ini ia berjalan menyelusuri jalan untuk ke rumahnya.

Dengan senyuman yang agak di paksakan, ia menolehkan kepala ke arah seseorang yang memanggilnya.

"Kenapa, Kang Sadam?" Ia merespon dengan sinis.

Namanya adalah Sadam. Ia terkenal sebagai laki-laki yang cukup bisa di bilang gemar catcalling, beberapa wanita di gang ini sebisa mungkin untuk menghindarinya. Bahkan, sebenarnya Ana yang tubuhnya telah kotor dengan sentuhan beberapa laki-laki saja enggan menjadi korban catcalling Sadam.

Tampilannya sangat beler, seperti laki-laki sange yang selalu berfantasi berlebihan.

"Siang-siang begini jalan sendirian aja, mending sama Akang." Sadam berkata sambil mengedipkan mata ke arah Ana, ia mendekati wanita yang tampak menyembunyikan tubuh -area sensitif— yang sedaritadi memang menjadi arah pandangnya. "Jangan di sembunyikan, tubuh mu sudah banyak yang menyentuh, aku tau-"

BUGH!

Ana meninju rahang Sadam, menjadikan laki-laki itu terhuyung sampai mundur beberapa langkah.

"Laki-laki sange! Lo bisa gue laporin ke polisi atas pelanggaran beberapa pasal, sekali lagi gue liat lo deketin gue, abis lo gue pukulin!"

Ana tidak takut, ia selalu bisa menjaga diri. Walaupun begitu, ia sejujurnya sedikit takut mengancam Sadam.

Sadam menyeka darah di ujung bibirnya. "Cih, wanita murahan sok jual mahal, badan lo ada seharga kuaci."

Ana memilih untuk tidak meladeni. Ia berbalik badan dan meninggalkan Sadam begitu saja.

"Gak ada pewajaran untuk catcalling, laki-laki yang ngelakuin itu udah gila."

Banyak sekali kejadian atas catcalling ini. Sekedar pengakuan dari pelaku hanya merasa gabut makanya menggoda wanita yang lewat di hadapannya. Namun menurut Ana, laki-laki seperti itu memang tiada kapok.

"Dia bilang gue murahan? Gak tau aja harga badan gue berjuta-juta, cepet musnah deh laki-laki yang suka catcalling"

Siapa yang sering mengalami hal seperti ini? Jujur, Ana yang terbilang sudah kotor pun masih tidak suka mendapatkan perlakuan catcalling karena menurutnya itu adalah kejahatan pada kesusilaan.

Ana berbelok ke arah rumahnya, membuka pagar, dan berjalan sebentar di halaman rumah yang tidak bisa di bilang besar.

Ia melihat ada motor besar yang terparkir, dan mengira kalau itu adalah motor milik Gibran. Ternyata Dipa masih memiliki hubungan dengan laki-laki menjijikan itu.

Tidak habis pikir kalau Dipa luluh di bawah kenikmatan yang di berikan pada Gibran, secara gratis pula. Kalau Ana, ia hanya mau berhubungan jika di bayar, tidak pernah ia melakukan flash sale untuk tubuhnya.

"Aku pulang!"

Dan benar saja, yang di lihat Ana saat ini adalah Dipa dan Gibran yang berada di ruang tamu.

"Selamat datang, Kak."

"Selamat datang, Ana."

Ana memutar kedua bola mata. "Dimana ibu sama ayah?" Ia bertanya, karena biasanya di jam segini ibunya menjemur pakaian karena seingatnya kemarin ia meminta tolong pada Mera untuk beganti mencuci dulu karena ia ada pekerjaan tambahan.

Dipa yang sedang berpegangan tangan dengan Gibran itu pun mengerjapkan mata. "Lagi ke kantor pajak, Kak. Mau bayar pajak," ia menjawab karena memang inilah yang di katakan Mera dan Tom kepadanya.

"Oh." Ana hanya merespon seadanya. Setelah itu, ia menatap ke arah Gibran dan menatap laki-laki itu dengan sangat tajam karena tidak ada perdamaian baginya. "Awas aja lo kalau hubungan badan di ruang tamu, gue gak segan-segan bikin lo babak belur." Ia mengancam Gibran.

Gibran meneguk saliva, yang paling ia takuti memanglah Ana. Banyak sekali gosip yang beredar mengenai Ana ini adalah wanita malam penuas nafsu laki- laki, namun saat ia melihat sifat wanita itu, sepertinya hanya gosip semata.

"Iya, Ana. Aman,"

"Dipa jauh lebih aman kalau bukan sama lo, brengsek."

Setelah mengatakan itu, Ana pun langsung saja berjalan menuju kamarnya. Ia ingin langsung berangkat bekerja kembali.

Ana pun masuk ke dalam kamar, ia tidak ingin berada di rumah ini lebih lama, namun sejujurnya tidak mau membiarkan Depa bersama dengan Gibran berduaan.

Ya sudah pasti di setiap pertemuan Dipa dan Gibran selalu melibatkan 'olahraga panas', Ana sudah mulai menerimanya asal tidak bocor ke telinga orang-orang.

Tidak ada yang dapat membuktikan kalau Ana adalah wanita malam, bahkan kedua orang tuanya termasuk Dipa tidak tau dengan apa yang ia lakukan walaupun gosip itu sudah menjalar ke telinga keluarganya.

"Gila lemes banget, olahraga dengan Denish selalu membuat kaki gue gemetar setelahnya."

Ana pun lebih dulu duduk di tepian kasur, ia sudah meletakkan tas yang di bawanya. Kini, ia menatap layar ponsel dan membuka grup kerjaan.

| grup chat |

Miko: Kemarin gue liat Ana, gak tau mau kemana sih tapi keliatannya buru-buru banget.

Sasa: Hah? Kemana? Ana pulang bareng aku, bahkan ke rumah aku dulu.

Roy: (mengirim emoticon berpikir)

Tora: @Miko ketikan kamu seperti menjerumus ingin membuat pikiran yang lain berkembang, nanti jadi gosip.

Ilham : Bener tuh apa yang di bilang Chef @Tora jangan begitu ah gak baik.

Miko: Apa? gue cuma bilang begitu astoge... T T

Ana membaca semua chat grup.

Ana: Makasih Chef @Tora dan @Ilham aku dari rumah Sasa mampir dulu ke kedai 24 jam untuk bawain buah tangan ke keluarga, semoga gak ada pikiran aneh-aneh ya, sampai juma di tempat kerjaan nanti!

Setelah mengirim pesan itu, Ana langsung saja keluar aplikasi. Ia tidak ingin memperpanjang pembahasan. Lagipula, ini pertama kali di grup membicarakan tentang dirinya. Ini memang bukan grup resmi, ini grup kerjaan kedua tanpa petinggi mereka dan di gunakkan untuk sekedar mengobrol santai saja.

Baru saja Ana meletakkan ponsel di meja karena ia ingin beranjak dan berniat bersiap-siap untuk bekerja, ponselnya berdering pertanda panggilan telepon masuk.

"Huh siapa sih?"

Walaupun menggerutu, Ana tetap kembali mengambil ponsel dan melihat panggilan telepon dari Chef Roy yang masuk ke ponselnya. "Waduh, kenapa nih?"

Segera menjawab panggilan telepon. Ana hanya berharap kalau Roy tidak mencoba untuk mengajaknya 'olahraga panas' yang kedua kalinya karena kemarin ia tolak.

"Halo, Chef. Ada apa menelepon?"

"Halo, Ana. Saya mau mengatakan kalau kamu tidak boleh telat datang."

"Iya, Chef. Sejauh ini, saya selalu tepat waktu, bahkan saya gak pernah telat atau absen alfa."

"Ya."

Ana merasa aneh, ia menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa, Chef? Apa-"

"Tidak ada, selamat siang."

"Eh? Selamat-"

Pip

Panggilan telepon terputus begitu saja, Ana menganga karena tidak mengerti. "Apaan sih? Gak jelas, biasanya juga gak begitu."

Setelah itu, Ana langsung saja melanjutkan niatnya untuk siap-siap bekerja yang tadi tertunda.

 




Minggu, 05 Oktober 2025

Bab 12: Perilaku Orang Kaya

 "Ugh... hoam...."

Merenggangkan kedua tangan ke atas adalah salah satu gerakan yang wajib untuk di lakukan ketika bangun dari tidur.

Sinar mentari masuk ke dalam ruangan, masuk melalui jendela yang seakan mengizinkan. Suara kicauan burung yang di padukan dengan suara mesin pemotong rumput pun menjadi pengisi saat ia terbangun dari tidurnya.

"Nyenyak banget tidur ku,"

Setelah itu, ia terbangun dari tidur, duduk di kasur terlebih dulu tanpa melakukan apapun selama beberapa menit untuk mengumpulkan nyawa sekaligus kesadaran yang rasanya masih melayang-layang.

Melihat ke sekeliling, dan tepat saat itu juga ia menepuk kening. "Astaga, bagaimana aku bisa lupa kalau masih berada di rumah Denish? ralat, mansion." Ia buru-buru menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, bahkan ia sudah memakai baju(?) yang benar saja, seingatnya ia berakhir tidur setelah Denish membopong tubuhnya ke kamar laki-laki itu di lantai dua untuk kembali berhubungan badan untuk ronde ke-3. Kedengarannya memang brutal, namun Ana menyukainya.

"Pasti Denish yang mengurusi ku, mana mungkin ia menyuruh maid melakukannya yang artinya memperlihatkan aib."

Menapakkan kaki di lantai dengan sandal berbulu berwarna coklat, bergambar beruang. Kini, ia berjalan ke arah kamar mandi karena hal pertama yang harus di lakukan adalah membersihkan tubuh.

Ana berani bertaruh kalau Denish sudah pergi entah kemana, sudah biasa ia di tinggal oleh laki-laki satu itu.

Melucuti pakaian di tubuhnya, setelah keadaan naked, ia masuk ke dalam shower. Membersihkan setiap bagian tubuhnya, ia juga memakai peralatan mandi seperti sabun dan lain-lain yang entah kenapa ada untuk khusus wanita.

"Denish mempersiapkan semua ini untuk ku? Aneh,"

Tidak berpikir jauh, dalam waktu 15 menit ia sudah selesai mandi. Menarik handuk yang berbentuk piyama, setelah itu berjalan ke arah cermin yang terdapat wastafel. Ia mematut wajah, menyambungkan hairdryer untuk mengeringkan rambutnya yang basah setelah memakai vitamin rambut.

Ia sungguh senang dengan semua fasilitas disini. Bagaimana tidak senang? Fasilitas di mansion milik Denish sangatlah lengkap jika di bandingkan dengan miliknya di rumah, tentu sebuah perbedaan yang sangat jauh.

Selesai melakukan pengeringan rambut, ia langsung keluar dari kamar mandi, masih memakai sandal berbulu yang sangat lembut di kakinya.

Membuka pintu kamar mandi, dan ia telah melihat gantungan baju berwarna

gold. Disana ia bisa melihat nota yang tertulis 'pakai ini dan segera isi perut mu di pantry'.

Ana tersenyum.

Ia mulai mengambil semua hanger baju dan membawa bersamanya ke fitting

room.

Setelah beberapa menit ...

"Berapa harga outfit mu?"

Ana terkekeh karena merasa lucu bertanya pada diri sendiri. Ia tau harga pakaian yang melekat di tubuhnya memiliki nominal fantastis walaupun hanya outfit casual.

"Bagus juga pilihat outfit Denish. Apa yang tidak bisa di lakukan oleh laki-laki itu, ya?"

Bangun tidur tidak perlu repot dengan urusan rumah, tidak seperti di rumahnya yang kalau tidak bangun pagi pasti ayahnya sudah membawa rotan untuk membangunkan Ana.

Seberapa keras didikan orang tua Ana yang malah membuat putri mereka melangkah ke jalan penuh kesesatan dan nafsu dunia.

Ia ingin berjalan ke pintu kamar, namun mendapati ada buket bunga beserta

surat yang mungkin untuknya? Memangnya untuk siapa lagi? Hei, hanya ia yang berada disini.

"Romantis, tapi sesekali harus jual mahal, benar?"

Ana pun mengabaikan dan berjalan keluar dari kamar ini. Ia bahkan sudah memakai kembali tasnya, untuk baju kotor juga sudah ia bawa menggunakkan tote bag yang juga di sediakan Denish, atau mungkin salah satu pekerja disini? ia tidak ingin ambil pusing untuk hal ini.

"Selamat pagi, Nona. Silahkah sarapan terlebih dulu, kami sudah menghidangkan menu sarapan terbaik."

Bagaikan ratu di sebuah kerajaan, Ana di sapa dengan hangat bahkan ada senyuman yang terlukis di wajahnya.

Ana menganggukkan kepala, memberikan sedikit senyuman juga. "Selamat pagi, terimakasih."

Setiap langkah Ana di rumah ini pasti di ekori dengan maid. Tidak, para maid tidak bermaksud untuk 'mengekori' dalam arti yang negatif, namun memang pelayanan di rumah ini sangat eksklusif.

Ana sampai di meja makan yang sudah ada dua maid yang siap melayaninya. Dari ia duduk, sampai bokongnya telah mendarat di kursi, lengkap sudah.

Ada sepiring Scrambled egg, bacon dan sosis, roti panggang dengan selai, hash brown, panekuk, dan sereal, juga ada buah-buahan.

"Selamat menikmati makanan yang tersaji, Nona."

"Haruskah aku menuruti kalian? Maksud ku, aku ingin pulang naik taksi,"

Ana cukup tidak nyaman karena ternyata menjadi orang kaya pasti hidupnya selalu di layani. Maksudnya memang keren di antar pulang ke rumah menggunakkan Mercedes-AMG GT 53 4MATIC 2020, namun yang tidak keren adalah kembali di bicarakan oleh tetangga sekitar.

Sepertinya ibu-ibu lambe gang tidak pernah berhenti untuk selalu membuat gosip baru walaupun sudah berpuluh-puluh kali Ana tegur bahkan di permalukan juga sudah.

"Tapi maaf, Nona. Ini semua perintah Tuan Denish,"

Ya, ya, ya. Denish lagi yang sudah pasti memerintahkan mereka semua untuk menjaganya, atau lebih tepat melayaninya.

Ana memutar kedua bola mata. Kini, ia sudah berada di teras rumah. "Baiklah, aku mengalah. Tapi antarkan aku sampai titik yang aku inginkan, mengerti?" "Tapi Tuan Denish-"

"Jangan hanya tentang mendengarkan dengarkan dia, kalau kau juga tidak mendengarkan aku, pasti itu berdampak buruk bagi kalian."

Akibat dari apa yang di katakan oleh Ana membuat para pelayan menganggukkan kepala, mengerti dengan apa yang di katakan oleh dirinya.

Pada akhirnya, kini Ana sudah memasuki Mercedes-AMG GT 53 4MATIC 2020 yang astaga... ini pertama kali baginya. Sudah banyak kolega besar yang menyewanya. Tapi untuk di bawa ke rumah atau bahkan di berikan tumpangan mobil mewah pun tidak pernah, hanya Denish yang memperlakukannya seperti ini.

Ana duduk di kursi belakang, tentu saja.

"Ada sesuatu di samping mu, Nona."

Mobil sudah melaju bahkan sudah memasuki jalan raya, namun Ana baru mendengar sang sopir yang berkata kepadanya.

Ana menolehkan kepala ke samping, memang ada kotak hitam sih, namun yang ia pikirkan sebelumnya juga tidak merasa penasaran karena bukan hak-nya untuk menyentuh barang orang lain.

Menganggukkan kepala. "Iya, aku melihatnya. Ada apa memangnya dengan kotak ini?" Ia merespon.

Sang supir tidak melirik ke arah Ana seperti halnya ia menghargai kalau wanita yang ia tumpangi adalah milik Denish, yang artinya menjaga pandangan sangat penting bagi majikannya.

"Untuk mu, Nona. Dari Tuan Denish untuk mu,"

Ana terkejut, apalagi yang di siapkan Denish untuknya? Ayolah, terlalu banyak kejutan jika memasuki kehidupan orang kaya.

Ia pun meraih kotak hitam tersebut dan meletakkan di pangkuannya. Membuka dengan perlahan pita yang menjadi hiasan sekaligus penahan kotak, setelah itu membuka tutupnya.

"Astaga."

Ana meraih benda yang ada di hadapannya, ia tersentak. "Ponsel baru?" Bahkan, masih tersegel dan ada logo dan beberapa aksesoris lainnya yang membuktikan kalau ponsel ini ORI dari toko yang legal.

Ponsel dengan kamera tiga di belakang, keluaran terbaru pada tahun ini.

"Dekatkan aku lebih dekat lagi dengan Denish, Tuhan."




Sabtu, 04 Oktober 2025

Bab 11: 2 Wanita Sexy Penuh Gairah

 "Begini jauh lebih sexy, kau nakal, ternyata sedaritadi tidak memakai CD!" Ya, Ana memiliki penjelasan untuk 'tidak memakai Cd' ini.

Denish langsung membalikkan tubuh Ana yang langsung menghadapnya. Ia melihat tubuh yang... "Sialan, hanya dengan melihat mu saja sudah membuat ku tegang, baby. Aku akan membuat mu mengaduh minta ampun untuk malam ini,"

"Ahhhh... ahhhh.... damn, you naughty bastard."

Mendengar erangan yang penuh dengan desah yang keluar dari dalam mulut Ana membuat Denish bersemangat. Ia memainkan kewanitaan Ana dengan kedua jarinya, terlihat wanita itu yang merem melek ia buat.

Tau Ana kenikmatan, gairah Denish semakin keluar. Ia mempercepat kocokan 2 jemarinya di lubang kenikmatan milik wanita yang ada di hadapannya.

Posisi mereka berdiri, namun ia menaikkan satu kaki ana ke bahunya, membiarkan Ana kini bersandar di meja makan agar tubuhnya tidak oleng. "Sebut nama ku, dan aku akan membuat mu menjerit penuh nikmat, sayang."

Ana mendengar setiap kata yang di lontarkan oleh Denish, terdengar sensual sampai terasa lubang kewanitaannya yang berisi jari laki-laki tersebut menembus sampai perutnya yang menyebarkan perasaan geli seperti kupu-kupu berterbangan.

"Ahhh... Denish..." Ana bukan sengaja mendesah agar membuat Denish terangsang, ia mendesah sungguhan karena mungkin akan gila dengan permainan laki-laki di depannya yang padahal ini bisa di sebut sebagai perawalan.

Denish menarik senyum miring. "That's what I mean baby."

Denish sudah tidak tahan, apalagi saat melihat ekspresi Ana yang

menggairahkan. Sial, ia tidak pernah kewalahan menghadapi hasratnya, namun saat bersama Ana sepertinya berbeda.

Ia mengangkat tubuh mungil Ana setelah menghempaskan apa yang berada di atas meja. Piring, gelas, bahkan peralatan lainnya pecah dan ia tidak peduli.

"Kau sangat brutal." Ana berbicara dengan suara sensual, apalagi lidahnya yang tampak menggoda Denish secara tidak langsung, mungkin ia sengaja melakukan hal ini.

Denish menarik senyuman, setelah itu mendekati tubuh ke Ana dan kedua tangannya memegang leher wanita yang terbaring pasrah di atas meja makan. Tangannya yang terlihat berurat menambahkan sensual tersendiri bagi wanita yang mendapatkan service menggairahkan dari dirinya.

"Hanya pada mu." Denish menjawab dengan tatapan matanya yang mengerling.

Ana pun menaikkan kedua kaki ke atas meja, memperlihatkan daerah

kewanitaannya untuk di nikmati oleh laki-laki di hadapannya. "Well, if that's what you say, come and eat me."

Mendengar suara Ana yang mirip desahan, menjadikan Denish tertantang. "Begitu? Jangan menyesal jika besok kau tidak bisa berjalan,"

"Dan itu adalah resiko untuk ku," Ana membalas sambil mengedipkan mata.

Merasa Denish lama, Ana mengubah posisinya terlebih dulu menjadi duduk di atas meja. Lalu, ia menarik kerah baju Denish sampai kepala laki-laki itu berada di bahunya. "Lihat dan nikmati." Ia berkata.

Dengan gerakan sensual, Ana mulai membuka pakain Denish, bahkan sesekali ia mengendus aroma maskulin laki-laki kaya yang berada di tubuh Denish, sangat menambah gairah.

"Kau memiliki wangi yang harum—awshhh!" Ana ingin memuji, namun kedua tangan besar Denish meremas gunung kembarnya di dada.

Sedangkan Denish? Ia merasa tubuh bagian atasnya sudah tanpa helaian, dan ia dapat merasakan ada tangan mungil yang meraba bagian kejantanannya dengan gerakan perlahan. "Sial, seperti ini saja kau seakan menantang ku."

Bersamaan dengan celananya yang sudah merosot karena hasil dari pekerjaan tangan Ana yang cekatan.

"Aku akan memompa mu-

"Dengan cepat, Denish."

Denish mengarahkan kejantanannya yang sudah berdiri dengan sempurna, sambutan Ana pun sangat hangat, bahkan wanita ini sudah kembali memposisikan tubuhnya di atas meja.

Tidak masalah jika si wanita yang lebih dominan menggoda, karena itu lah tugas Ana. Dan siapa sangka laki-laki ini memiliki hasrat tinggi pada Ana?

"Sesuai permintaan mu,"

Dan masuk lah kejantanan Denish ke lubang kewanitaan Ana, masuk dengan sempurna dan Ana merasa ada yang membesar di kewanitaannya yang kini terasa penuh.

"Ahhhhhhhhh...." Ana melenguh lega, ia melihat ke arah Denish, laki-laki itu dengan semangat memaju-mundurkan bokongnya. Bahkan tangan Denish yang kekar tidak segan memainkan buah dadanya yang menantang.

Sudah dapat di tebah kalau ruang makan telah menjadi ruangan penuh desah yang mereka lakukan.

Menurut Denish, persetan dengan maid di rumah ini karena mereka bekerja bukan untuk mengetahui apa yang menjadi privasinya. Dan jika mereka mendengar desahan Ana dan dirinya di sesekali waktu, itu bukan menjadi topik pembicaraan yang harus mereka bicarakan. Bekerja dengan profesional, pekerja seperti itu lah yang di butuhkan oleh dirinya.

Denish melihat ekspresi Ana, ekspresi penuh kenikmatan hasil genjotannya. "Ahhhh Denish, faster baby....

"Ahhhhh...."

Tubuh Ana terguncang dengan hebat, inilah yang membuat Denish semakin bernafsu untuk menyalurkan kenikmatan yang lebih.

"Kau cantik saat di bawah ku, tidak kalah cantik jika posisi mu di atas." Denish beralih meraih wajah Ana, jemarinya yang juga kekar pun menyelusuri wajah bak tanpa pori-posi, lalu berhenti lu mulut wanita tersebut dan jemarinya di isap dan di kulum dengan gerakan sensual.

Ana tidak pernah merasa semabuk ini. Ia tidak pernah di buat seperti melayang yang padahal mereka melakukan hubungan badan di meja, yang biasanya selalu ia lakukan di ranjang. Ini adalah pengalaman baru dengan laki-laki tampan dengan kejantanan besar yang memuaskan.

Ana merem melek, ia tidak tau kapan terakhir merasa hubungan badan bisa membuat tubuhnya seolah melayang.

"Kau membuat ku gila, Ana. Aku akan gempur kamu sampai besok rasanya kedua kaki mu ingin patah, kau yang meminta dan aku yang akan

mewujudkannya."

Dan sebagai jawaban, hanya ada desahan saja yang terdengar.

Meja makan menjadi saksi bisu dimana hubungan badan tanpa di landasi percintaan jelas adanya, bahkan mungkin banyak(?) Mereka hanya manusia yang ingin menyalurkan nafsu, namun mungkin juga menjadi keputusan yang salah. Ruangan penuh desah yang seolah saling menyahuti antara Ana dan Denish, menjadi penambah suasana di antara mereka. "Kau tau satu hal atau tidak?" "Apa?" Ana menjawab dengan tubunya yang masih terguncang, bahkan berkali- kali tubuhnya menggeliat layaknya ulat bulu, belum lagi harus menggigit bibir bagian bawahnya karena tidak kuat dengan kenikmatan yang Denish berikan.

"Kau wanita pemuas yang luar biasa."

Jangan pernah memandang kehidupan seseorang hanya karena kisah buruk dan dunia tercelanya yang tersaji. Tidak semua orang bisa menilai sampai tau apa yang terjadi di akar, terkadang banyak yang hanya menilai dari sampulnya. Semua orang memiliki masalah, hanya berbeda cara untuk mengatasi. Dan disaat Ana mengambil jalan penuh desah dan nikmat untuk setidaknya melupakan semua beban dunia yang di pikul olehnya, mungkin ini keputusa mutlak yang tidak akan bisa di ubah.

Tidak ada kehidupan yang bisa menjelaskan seberapa baiknya mengubur rasa sakit dan menurut Ana jauh lebih baik untuk bersenang-senang dengan kesesatan dunia.




Rabu, 01 Oktober 2025

Bab 10: Diatas Satu Meja Makan

 Suara alat makan yang berdenting dengan piring pun terdengar mengisi suasana selain hadirnya topik pembicaraan panas yang menjerumus.

"Sudah selesai, kenyang."

Ana menepuk mulutnya dengan napkin, betapa anggunnya dia karena bisa menyesuaikan suasana yang tersaji. Ia sangat pandai untuk menjadi karakter yang berbeda-beda, karena memang memiliki cukup bakat untuk hal

penyesuaian diri seperti ini.

Denish yang sedang menikmati makanannya pun langsung menaikkan pandangannya. "Huh? Kau sudah tidak sabar untuk di berikan kenikmatan dari ku?" Ia bertanya sambil mengerling.

Di meja makan ini, hanya ada Denish dan juga Ana. Tidak ada orang lagi selain mereka berdua, para maid pun di berikan perintah untuk tidak mendekat karena obrolan mereka terdengar bebas bahkan tidak masalah membicarakan mengenai obrolan yang menjerumus ke hal dewasa.

Terkesiap dengan perkataan Ana, ini menjadikannya menghembuskan napas dengan perlahan-lahan. "Percaya diri banget sih lo?"

"Inget untuk jadi wanita lembut seperti di ranjang, Juliana Moretha."

Pipi Ana bersemu, setelah itu melengos. Namun, saat ia mengalihkan pandangan, ia langsung melihat sebuah bingkai foto yang membuatnya bertanya-tanya. "Foto bersama siapa itu? Kekasih mu?" Ia bertanya, hanya penasaran dan bukan cemburu.

Sudah banyak sekali pekerjaan kotornya yang menelan para laki-laki hidung belang yang membutuhkan pemuas di setiap minggunya. Tidak banyak juga mereka sudah memiliki kekasih atau pun istri yang seharusnya tidak melakukan hal penuh gairah pada wanita lain, ini masalah menghargai dan memegang kepercayaan.

Kenapa Ana tau kalau rekan pemuas nafsunya memiliki wanita spesial? Karena tak jarang wanita ini menelepon ke laki-laki yang sedang ia puaskan hasratnya, bahkan beberapa juga ada yang meletakkan foto wanitanya di dompet yang tidak sengaja Ana lihat ketika laki-laki tersebut membuka dompet mereka.

Terkadang, Ana paham kalau semua laki-laki itu setara, apalagi menginginkan hasrat besar yang membutuhkan wanita yang dapat menyalurkan semua gairah. Ana sampai sekarang belum percaya kalau ada laki-laki baik yang tulus. Buktinya, ayahnya. Jangan jauh-jauh, laki-laki brengsek di hidupnya jatuh pada Tom. Kasar, suka berjudi, bermain perempuan, jangan lupakan minum anggur merah-pemabuk di setiap malamnya menjadikan poin sangat negatif untuk mendeskripsikan sang ayah.

Denish tau kalau orang yang ke rumahnya dan jika melihat foto itu pasti akan meluncurkan pertanyaan kepadanya. Memang, siapa yang tidak habis pikir dengan adanya fotonya berdua dengan seorang wanita yang selama ini orang- orang melihatnya selalu sendirian?

"Dia? Ibu ku." Denish menjawab sambil menyudahi makannya yang belum habis. Apa boleh buat? Ana mengatakan sudah selesai makannya, jadi ia melakukan hal yang serupa.

Ana mengerjapkan mata. "Bolehkah?" Ia bertanya, meminta izin.

Denish menganggukkan kepala. "Ya, sure. Silahkan."

Setelah mendapat persetujuan, Ana beranjak dari duduknya dan melangkahkan kaki untuk menghampiri objek benda yang ingin ia amati.

Ana berhenti, lalu melihat bingkai foto yang terpanjang di dinding. Bingkai yang sepertinya di hiasi berlian, mungkin? Ia bahkan tidak bisa menebak alasan Denish memilih bingkai foto yang ada berliannya. Biasa lah, orang kaya bisa melakukan apa saja.

Ana memperhatikan siapa yang ada di bingkai foto. Wanita yang terlihat masih muda, dan itu adalah potret yang sepertinya di ambil tidak jauh dari usia Denish yang sekarang.

"Itu foto satu minggu yang lalu."

Mendengar suara Denish yang seolah-olah bisa membaca pikiran, dan ini menjadikan Ana paham kalau ibu dari laki-laki yang masih berada di meja makan itu adalah wanita yang awet muda, membuatnya terkesan, apalagi wajahnya sangatlah cantik dan seolah tanpa kerutan.

"Dan... di mana dia?" Ana bertanya.

Ada dua kemungkinan, ibu Denish hamil di luar nikah atau nikah muda. Oke maaf kalau pemikiran Ana terlalu to the point, namun ini adalah kenyataan, benar? Kenapa ia bisa berpikiran opsi satu dan dua? Karena di sepanjang mansion ini, tidak pernah terlihat ada foto keluarga lengkap dan hanya foto Denish dengan wanita yang menurut pengakuan laki-laki itu adalah ibunya, yang artinya mendukung opsi satu. Belum lagi, untuk opsi dua itu sudah jelas karena di dukung dengan wajah awet muda.

"Apa yang kamu pikirkan, hm?"

Tubuh Ana yang hanya terbalut dress selutut yang membiarkan pahanya terbuka dan punggungnya terekspos dengan sempurna belum lagi belahan dada V lebar yang seolah memamerkan kedua gundukan kembar di dadanya, rasa merinding pun menjalar ke seluruh tubuh.

Ana dapat merasakan hembusan napas di lehernya. Terasa hangat, bahkan kini bulu-bulu halus dari brewok tipis Denish pun terasa di bahunya yang tanpa benang.

"Enggg.." Ana menutup mata, merasakan hembusan napas Denish yang membuat bulu roma-nya berdiri.

Sebagai seorang laki-laki, Denish sama sekali tidak bisa di katakan sebagai sosok yang baik. Terbukti dari tangannya yang mulai naik, dari pinggul, sampai menyentuh gunung kembar wanita yang ia peluk dari belakang.

"Kenapa memakai baju seperti ini? Sengaja ingin menggoda?"

"Itu sudah tugas ku, Denish."

"Nah seperti ini, jadilah wanita yang lembut saat berada di dekapan ku." Ana tidak merespon. Tolong, ia terbuai dengan perlakuan Denish yang menurutnya sangat... membuatnya mabuk kepayang. "Hentikan Denish, jangan lakukan di ruang makan." Ia melirih, bahkan sampai menggigit bibir bawahnya. Denish yang melihat kecemasan Ana pun terangsang, ia dapat melihat semua ekspresi wajah Ana walaupun kini ia berada di belakang wanita itu. "Emangnya kenapa? Aku jago melakukannya di mana pun," ia berkata seperti ini.

Denish. Terkadang, ia menjadi pria dingin saat sudah selesai melakukan aktifitas panas karena merasa hasratnya telah di salurkan. Jadi, ibaratnya ia menjadikan Ana pelampiasan dan membuangnua jika sudah di pakai. Namun sekarang lihat, jika ia membutuhkan pelampiasan, maka sifatnya selembut kapas.

Ana tidak bisa berkata-kata, ia membiarkan Denish yang mengarahkan semuanya padanya. Ia biasanya yang lebih dominan memainkan tubuh laki-laki karena ia melayani pekerja yang artinya terkadang tenaganya sudah terkuras. Namun untuk Denish yang sekarang, ia di tuntun oleh laki-laki itu untuk mendapatkan kenikmatan.

Denish selalu mendapatkan lampu hijau dari banyak wanita, namun yang membuatnya sangat memiliki hasrat besar adalah Ana, hanya Ana.

"Kau sangat sexy, membuat jiwa ku bergetar."

"Dan sentuhan mu, engg- sangat sensual."

Denish semakin berani, seperti awal pertemuan mereka dialah yang dominan. "Let's do it right here, right now, at the dinner table."

Srekkkkkk

Ana yang tadinya menutup mata pun langsung membelalakkan kedua matanya. Bajunya di robek oleh Denish!

"Begini jauh lebih sexy, kau nakal, ternyata sedaritadi tidak memakai CD."

Ya, Ana memiliki penjelasan untuk 'tidak memakai Cd' ini.

Denish langsung membalikkan tubuh Ana yang langsung menghadapnya. Ia melihat tubuh yang... "Sialan, hanya dengan melihat mu saja sudah membuat ku tegang, baby. Aku akan membuat mu mengaduh minta ampun untuk malam ini,"




Selasa, 30 September 2025

Bab 9: Datang ke Rumah Besar

 | ruang pesan |

Ana

Maaf untuk malam ini aku tidak bisa, lain kali saja ya, Chef, sekali lagi aku minta maaf.

Read

I ruang pesan berakhir |

Pesan yang dikirimkan olehnya hanya di baca oleh laki-laki yang ia kirimkan pesan, Ana berani bertaruh kalau tidak akan ada lagi tanda-tanda kalau Roy membalas pesan penolakan darinya.

Untuk saat ini, Ana berharap kalau Roy tidak marah dengannya apalagi melakukan hal gila karena di tolak olehnya.

"Main hp terus, jadi pulang gak sih? By the way, ini buah tangan untuk keluarga mu."

Ana menolehkan kepala ke sumber suara, melihat Sasa yang memang sangat cantik, tapi maaf masih cantikan dirinya karena ia menerapkan selflove dan tidak ingin insecure karena setiap derajat kecantikan setiap wanita berbeda-beda.

"Em, ini mau pulang. Tadi habis periksa pesan dari ojek online, ternyata sudah sampai." Ana beranjak dari duduknya di kursi kayu teras rumah temannya, lalu mengambil paper bag besar yang di letakkan pada meja, untuknya. "Terimakasih banyak."

Mereka cepika-cepiki dari pipi kanan ke pipi kiri, setelah itu saling tersenyum. "Sama-sama, hati-hati di jalan!" Sasa berseru.

Ana hanya menganggukkan kepala setela itu melambaikan tangannya pertanda perpisahan. "Dah! Sampai jumpa lagi,"

Tidak lagi menanggapi Sasa yang tampak masih memperhatikan punggungnya yang semakin menjauh, Ana berjalan sebentar di halaman rumah Sasa dan menyapa security yang bertugas di rumah ini. Enaknya jadi orang kaya... keamanan rumah saja ada yang mengurus.

"Selamat malam, pak. Saya pulang dulu," Ana basa-basi karena tidak mungkin keluar dari area ini dengan tak topan.

Sang security tampak menganggukkan kepalanya, memberikan senyuman kepada wanita yang menyapanya. Ini bukan pertama kalinya teman dari anak majikannya datang, namun yang menyapanya hanya beberapa termasuk wanita tersebut.

"Iya, neng. Hati-hati di jalan, itu ojek onlinenya udah nunggu."

"Iya, Pak, makasih banyak ya."

Setelah itu, Ana langsung saja keluar dari gerbang yang sudah di persilahkan oleh security dan menaiki jok belakang motor dari ojek online yang ia pesan barusan.

Di sepanjang perjalanan, Ana memangku pemberian Sasa dan tali paper bag-nya ya masukkan ke tangan supaya di tahan dan kedua tangannya bisa menggenggam ponsel.

Untung saja, ojek online ini tidak banyak tanya. Baiklah, Ana adalah tipikal wanita yang kurang suka mengobrol, apalagi konteksnya dengan orang yang tidak di kenal.

Ana membuka ruang pesan dengan Denish, ia mengirimi laki-laki itu pesan. | ruang pesan |

Ana

Gue berangkat ke rumah lo, maaf sudah menyentuh malam hari, hampir larut.

Benar, Sasa beralibi padanya karena yang seharusnya ia bisa pulang pada jam setengah 10, kini ia pulang tepat pada jam 11. Bayangkan saja, tidak mungkin merayakan ulang tahun hanya dengan waktu 30 menit, terlebih lagi yang ingin di berikan kejutan kerja dan harus menunggu kedatangan yang ingin di kejutkan.

Jadi, sekarang jam 11 dan masih harus on the way ke rumah Denish, entah laki- laki itu akan menerimanya atau tidak.

"Mbak, alamat yang di tuju sesuai aplikasi, kan?"

Padahal Ana melihat pesannya sudah centang dua yang artinya telah di baca oleh, namun memilih untuk menjawab pertanyaan bapak ojek onlie terlebih dulu.

"Iya, Pak. Sesuaiin maps aja,"

Ting

Ana menoleh ke ponselnya lagi, ia merasa ojek online itu juga tidak akan lanjut membalas perkataannya.

Denish

Datang saja, aku juga telah pulang kerja. Ku tunggu di ruangan ku, oke?

Ana

Ruangan lo yang mana? Lupa kalau gue baru pertama kali kesana? Lain halnya dengan wanita yang sering lo ajak ke rumah, pasti mereka udah hapal.

Denish

Siapa bilang? Kamu yang pertama,

Entah harus tersipu atau tidak perlu karena terdengar seperti gombalan klasik, namun di hati Ana seperti ada getaran aneh.

Ana

Haha, oke.

I ruang pesan berakhir

Setelah itu, Ana memutuskan untuk tidak bertukar pesan lagi dengan Denish, dan memasukkan ponsel kembali ke tas selempangnya.

Jarak dari rumah Sasa ke rumah Denish ternyata hanya memakan waktu 15 menit di perjalanan, apalagi kini jalanan mulai renggang dan tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang.

Sampai pada akhirnya, Ana sudah sampai di depan sebuah mansion yang benar- benar mampu membuatnya berdecak kagum.

"Kayaknya cita-cita gue mau jadi orang kaya deh."

Setelah membayar, Ana langsung saja mendekat ke arah gerbang dan memegang jeruji besi gerbang untuk melihat-lihat keadaan di dalam.

"Atuh neng lagi apa? Neng Ana atau bukan?"

Tiba-tiba, suara bariton menyambutnya bersamaan dengan munculnya security yang berperawakan jangkung.

Ana menganggukkan kepala. "Iya, aku mau ketemu sama Denish, sudah membuat janji juga." Ia berkata seperti ini karena takutnya ia tidak di perbolehkan masuk karena belum membuat jadwal dulu dengan si pemilik rumah dan berakhir dengan dirinya yang di usir, semoga saja tidak seperti itu.

Pintu gerbang pun terbuka, dan security langsung mengarahkan apa yang harus di lakukan Ana. Sedangkan Ana? Ia mengangguk kala mengerti dengan penjelasan security itu.

Sampai pada akhirnya, telapak kaki Nada sudah menginjak teras rumah yang sangat bersih, juga ada seorang penjaga pintu yang tampak membukakan pintu di hadapannya yang menjulang tinggi.

"Selamat datang dan selamat malam, Nona. Mari ikuti saja untuk bertemu dengan Tuan Denish."

"Wow." Sambil sedikit berdecak kagum dengan pelayanan di rumah ini, Ana pun mengekor seorang doorman yang sepertinya akan membawanya ke tempat Denish berada.

Mansion Denish bukan terbilang mansion yang super mewah, tidak seperti ini. Namun untuk ukuran seorang laki-laki yang sepertinya hanya tinggal sendirian disini -karena Ana tidak menangkap pergerakan orang lain selain para pekerja disini, bisa di pastikan kalau Denish adalah laki-laki berkedudukan besar.

"Silahkan Nona di tunggu untuk supper lebih dulu dengan Tuan besar,"

Ana menganggukkan kepala, ia sedikit beruntung karena bekerja di restoran, ia tau istilah Supper yang di maksud oleh doorman di hadapannya ini.

//info: "Supper" adalah makanan yang lebih ringan, sering kali tidak lebih dari sekedar camilan, dimakan di larut malam, kadang-kadang bahkan setelah 11 malam atau tepat sebelum tidur.//

"Terimakasih telah mambantu," Ana berkata dengan sopan.

"Terimakasih kembali, Nona." Dan sang doorman setelahnya pamit undur diri untuk kembali pada posisi kerjanya.

Sekarang, waktunya Ana menghampiri Denish dengan penampilannya yang... cantik? Ia masih mengenakkan dress baru yang di berikan Sasa untuknya,

bahkan riasan di wajahnya menambah kesan fresh dan hot di satu waktu bersamaan.

"Jadi, penampilan ku ternyata sudah siap dalam situasi menggoda Tuan besar ini, kan?"

Ana melangkahkan kakinya dengan anggun, bahkan suara dari kaki heels yang beradu dengan lantai pun terdengar.

Apa yang terjadi pada malam hari ini di antara mereka?




Senin, 29 September 2025

Bab 8: Jadwal Malam yang Padat

"Udah selesai belum?"

Ana mengelap keringat di dahinya dengan lekukan tangan. Mendongakkan kepala kala pertanyaan tersebut masuk ke dalam telinganya, ia ingin tau siapa yang bertanya karena ini bukan suara Sasa.

"Eh? Chef Roy? udah nih, bentar lagi selesai kok."

"Nih makan malam dulu sebelum pulang, jangan pulang sebelum memakan masakan saya."

Terlihat Roy yang menyodorkan piring berisikan chicken cordon bleu yang di sajikan dengan potato widges, ia tampak memberikan senyuman kepada Ana dengan tulus.

Melihat itu, Ana mengerjapkan matanya. "E-eh?"

Kenapa Ana tidak mengenali atau kurang mengenali suara Roy sebelumnya?—, karena yang biasanya ia palak makanan adalah Chef Tora, kebetulan mereka juga dekat.

Tapi Roy? Roy adalah kepala chef disini, sebaiknya tidak memperlakukan seorang cuci piring seperti ini. Ya tidak masalah sih, hanya saja Nada kurang nyaman dengan hal ini.

"Makan dulu. Teman mu yang satunya mana?"

Menjadi tukang cuci piring dan hanya handle berdua setiap berganti shift, tentu saja bukan hal yang memberatkan karena mereka mencuci piring dengan mesin cuci khusus mencuci peralatan dapur berukuran besar dan sekali pakai bersih. "Sasa, Chef? Tadi dia udah ke loker duluan, jam kerja aku dan Sasa kan sudah habis."

"Lalu kenapa kamu masih disini?"

"Ingin menata peralatan dapur yang terakhir ini, setelah itu niatnya ke loker untuk bersiap pulang."

Salah, sebenarnya stay-nya disini adalah menunggu Tora yang mengantarkan sepiring makan malam untuknya. Namun, yang mendekatinya ini adalah Roy, perkaja tua yang belum memiliki hubungan pernikahan karena terlalu mencintai dunia kitchen.

Karena merasa ada yang aneh, Ana pun was-was. "Serius untukku? Maksudnya, kau sangat anti memberikan makanan, bahkan mungkin tidak pernah." Ia berkata.

Roy terkekeh kala mendengar perkataan Ana, ia pun menganggukkan kepala. "Benar, saya penasaran dengan mu. Saya tau semuanya dari Tora, dan saya tertarik."

Mendengar itu, Ana mengerjapkan kedua matanya. Ia menatap ke arah Tota yang ternyata memperhatikan mereka dari balik dinding, ia sedikit menggeram karena ternyata laki-laki yang bekerja sebagai chef itu sepertinya membocorkan 'pekerjaan sampingan' yang ia miliki.

"Tenang saja, Tora hanya cerita pada saya, tidak menyebar ke yang lainnya."

"Jangan bicarakan disini, Chef. Ini masih area kerja, tolong hubungi ku via pesan, saya tidak ingin ada yang mencurigakan kita."

Roy tampak menganggukkan kepala. "Kalau bisa, malam ini." Setelah itu, ia meninggalkan Ana yang sekarang tampak termenung.

HEI, KENAPA JADWAL ANA MALAM INI SANGAT PADAT? Pertama, Ana harus datang ke rumah Sasa, ia berjanji hanya 30 menit lamanya disana. Kedua, ia harus bertemu dengan Denish, jujur saja ia merindukan laki-laki itu. Tapi, ada tambahan lagi yang ketiga! Roy meminta malam ini juga.

"Tentu saja aku akan menolak Chef Roy." Ana berkata pelan, ia mengambil piring yang berisi makan malam untuknya. Pekerjaan menata peralatan dapur ke tempat semula pun sudah selesai ia lakukan.

Ana duduk di sudut ruangan dengan tempat duduk dari balok. Sekarang, ia tidak perlu lagi makan dengan suasana takut ketahuan oleh Roy karena untuk malam ini, Roy sendirilah yang memberikan makanan kepadanya.

"Oke, pertama-tama hal yang harus aku terapkan adalah jangan menaruh kepercayaan kepada orang lain."

"Selamat datang di rumah aku, permisi, aku pulang!"

"Permisi... 

Ana pun mengucapkan salam dengan sopan. Sudah di katakan, Sasa adalah orang kaya yang sangat berkecukupan. Dan yang diinjaknya saat ini adalah kediaman temannya yang sangat luas dan megah, jangan bandingkan dengan tempatnya tinggal karena akan berbeda jauh.

"Non Sasa udah pulang toh? Wah... temannya cantik banget, Bibi udah nyiapin minuman dan makanan lainnya di kamar Non."

Tiba-tiba muncul seorang yang bisa di bilang adalah asisten rumah tangga (ART) yang bekerja disini, terlihat dari penampilannya.

Ana meringis tidak enak karena di puji. "Termakasih, mbok." Ia hanya menjawab apa adanya.

Sasa pun menganggukkan kepala. "Makasih ya Mbok, Iyem. Kalau begitu aku ke kamar dulu nih sama Ana, sampai nanti." Ia berkata kepada ART yang ternyata bernama Iyem.

Sasa menggandeng tangan Ana, ia jalan lebih dulu dan diikuti oleh Ana di belakang.

Ana memang bukan orang kaya, namun ia tidak norak. Walaupun tempat tinggalnya lusuh dan sekarang ia menginjakkan kaki di rumah besar orang kaya, namun tatapan matanya biasa saja, tidak terlihat orang yang pertama kali melihat benda-benda mahal.

"Kamar aku ada di lantai dua, ibaratnya lantai dua itu lantai untukku sendiri." Sasa seperti tour guide yang memandu.

Ana hanya diam, ia tidak menanggapi perkataan Sasa. Sampai pada akhirnya, mereka sudah menginjakkan kaki di lantai dua setelah melewati tangga besar yang melingkar.

Nuansa biru muda pun menyapa. Dari sekian ruangan berwarna gold di rumah ini, hanya lantai dua lah yang di padukan warna biru muda.

"Ayo masuk, yang ini kamar ku."

Dan mereka berdua pun masuk ke kamar. Bersamaan dengan Sasa yang

melepaskan genggaman tangannya pada Ana, wanita ini tampak menutup pintu kamarnya.

"Bagus." Ana memberikan tanggapan, serta menghadirkan senyuman di wajahnya.

"Em." Sasa menganggukkan kepala, ia tersenyum manis. "Kalau begitu ayo siap- siap, nyokap bentar lagi pulang nih. Kue udah siap, ruangan yang di dekor udah siap."

"Maaf, kira-kira lama, gak?" Ana bertanya sambil mengusap lengannya, tidak enak dengan Sasa.

Sasa pun menggelengkan kepala. "Enggak kok, kamu punya waktu tiga puluh menit disini, kan? Sepuluh menit lagi nyokap pulang, dua puluh menit tersisah untuk merayakan."

Enak sekali jadi orang kaya. Jika salah satu anggota keluarga ulang tahun, pasti di rayakan. Uangnya selalu ada dan esok harinya pasti tidak akan kepikiran akan makan apa karena uang yang pas-pasan. Soalnya, dulu Ana begitu.

Percaya tidak? Ana seumur hidupnya tidak pernah merasakan bagaimana perayaan ulang tahun.

"Kalau begitu, ayo bersiap dalam sepuluh menit."

"Sudah termasuk mandi, make up, dan lain-lainnya juga?"

"Iya, sudah, Ana. Maka, lakukan dengan segera. Ada dua kamar mandi di kamar ku, jadi langsung saja mandi, tenang saja ruangannya berbeda."

Tidak habis pikir dengan isi kamar tidur Sasa ternyata memiliki 2 kamar mandi. Kalau di rumah Ana, boro-boro kamar tidur ada fasilitas kamar mandi. Dalam 1 rumah, hanya ada 1 kamar mandi yang di pakai secara bergantian.

Ana pun menganggukkan kepala. Ia melepaskan tas yang berada di pundaknya, meletakkan tepat di atas kasur yang terlihat jauh lebih empuk jika di bandingkan dengan miliknya.

"Nanti ambil saja pakaian yang kamu inginkan dan merasa cocok, nanti sekalian untuk mu jika kamu mau." Sasa kembali berkata. "Lemari di sana adalah lemari yang memuat pakaian baru, tenang saja belum pernah ku sentuh. Aku menaruhnya disana karena ternyata tidak sesuai dengan selera ku," ia menunjuk lemari pakaian yang terbuat dari kayu jati dengan motif yang cantik.

Apakah harus Ana melongo? Sepertinya tidak perlu, kan?

Ana menganggukkan kepala. "Oke."

Hanya 30 menit juga merasakan jadi orang kaya, tidak masalah, Ana harus menikmatinya.